Property of Amii
Greet me ! I don't bite;

Leave lot of comments!
Find me!
Instagram
Past;
Read the old post here!


Credits

Skin by Shippai Lettha.
Script DD.
Colors CP.
Icon Miyarii.
Edit by Amii.
Welcome!
Hello!
Amii here
Part of Communate '16
FISIP, Brawijaya University
I hope everything i shared here could be useful
Thanks for coming
Contact meh: Blog | Google+
Perkembangan Undang-Undang Perfilman di Era Modern
Minggu, 04 November 2018 | 00:53 | 0comments
Di Indonesia, segala hal terkait dengan perfilman diatur dalam Undang-Undang no. 33 tahun 2009 tentang Perfilman Indonesia. Sudah 9 tahun berlalu sejak undang-undang ini dikeluarkan. Undang-Undang Perfilman no. 33 tahun 2009 bisa dikatakan sangat kurang relevan dengan perkembangan zaman. Dalam kurun waktu 9 tahun di era modern seperti saat ini, tentu sudah terjadi begitu banyak perubahan di masyarakat, baik itu ilmu pengetahuan, teknologi, maupun pola gaya hidup masyarakat dan segala industrinya. 

9 tahun lalu, di Indonesia media yang populer masih lah media cetak dan elektronik. Orang yang ingin menonton film pun, harus pergi ke bioskop atau menunggu hingga film itu tampil di televisi. Internet masih merupakan hal baru yang belum dapat dimiliki semua orang. Maka wajar lah jika saat itu undang-undang belum mengatur perihal film yang beredar di Internet. Namun sekarang, internet sudah menjadi bagian besar dalam kehidupan masyarakat. Internet bukan lagi sesuatu yang mewah ataupun aneh. Bahkan sekarang, segala hal sudah masuk ke jejaring internet termasuk film. 

Jika dahulu tidak semua orang bisa membuat dan mengedarkan film, sekarang semua itu sudah dapat dilakukan siapa saja dengan amat mudah. Bagi orang-orang yang tidak mampu menembus jaringan besar bioskop untuk menayangkan filmnya, mereka sekarang bisa dengan mudah menyebarkan film nya lewat internet, gratis bagi para pembuat dan gratis untuk para penonton. Bahkan sekarang hampir semua film bahkan yang harusnya tayang di bioskop juga dapat ditonton secara gratis namun ilegal di internet. Internet menjadi industri besar untuk para pelaku film. Namun dalam undang-undang, tak satu kali pun perihal internet dibahas. 

Untuk itu seharusnya pemerintah mulai memperbarui undang-undang agar lebih relevan dengan zaman. Pemerintah harus membuat peraturan tambahan yang mengatur kegiatan perfilman yang ada di Internet, agar jelas masalah hak cipta dan sensornya, serta para pembuatnya bisa mendapatkan perlindungan hukum yang sesuai. Film dan internet merupakan industri besar masa depan yang sangat menjanjikan dan sangat perlu diatur dalam undang-undang. Film merupakan salah satu komoditas, dengan begitu banyak dana yang berputar di sana, dan rakyat Indonesia merupakan pasar yang begitu besar. Pemerintah juga seharusnya membuat peraturan yang adil agar distribusi film tidak hanya dimonopoli beberapa pihak. Film-film Indonesia perlu mendapatkan kepastian jumlah layar dan diperlakukan secara adil oleh pasar. Agar lebih banyak jenis film terutama film buatan lokal bisa ditonton oleh masyarakat pecinta film.

Label: , ,

Hate Speech di Media Sosial
Rabu, 17 Oktober 2018 | 22:00 | 0comments
Siapa yang tak menggunakan media sosial di era modern seperti ini? Setiap orang pasti memiliki media sosial, minimal satu, entah itu Facebook, Twitter, Instagram, LINE, Path, YouTube, Blog ataupun platform media sosial lain. Tulisan ini pun, dimuat di media sosial, dalam bentuk blog. 

Apa sih media sosial itu? 

Media sosial adalah sarana berkomunikasi, bergaul, berinteraksi, membangun jaringan pertemanan, saling mengirim pesan dan saling berbagi yang menggunakan internet. Jika kita mengtik di Google dengan kata kunci "Social Media Meaning" maka akan muncul kata-kata ini

so·cial me·di·a
noun
  1. websites and applications that enable users to create and share content or to participate in social networking.


Yang artinya, halaman situs dan aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk membagikan konten atau berpartisipasi dalam jaringan sosial. 

Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai "sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content"

Menurut mereka, ada 6 jenis sosial media. 
  • Proyek kolaborasi : Situs web mengizinkan penggunanya untuk dapat mengubah, menambah, ataupun menghapus konten-konten yang ada di situs web ini. Contohnya Wikipedia.
  • Blog dan microblog : Pengguna lebih bebas dalam mengekspresikan sesuatu di blog ini seperti curhat ataupun mengkritik kebijakan pemerintah. Contohnya Blogspot dan Twitter.
  • Konten : Para pemilik akun dari pengguna situs web ini saling membagikan konten-konten media, baik seperti video, ebook, gambar, dan lain-lain. Contohnya YouTube
  • Situs jejaring sosial : Aplikasi yang mengizinkan user untuk dapat terhubung dengan cara membuat informasi pribadi sehingga dapat terhubung dengan orang lain. Informasi pribadi itu bisa seperti foto-foto. Contoh Facebook
  • Virtual game world : Dunia virtual, yang meniru lingkungan 3D, di mana pengguna bisa muncul dalam bentuk avatar-avatar yang diinginkan serta berinteraksi dengan orang lain selayaknya di dunia nyata. Contohnya Game Online.
  • Virtual social world : Dunia virtual yang di mana penggunanya merasa hidup di dunia virtual, sama seperti virtual game world, berinteraksi dengan yang lain. Namun, Virtual Social World lebih bebas, dan lebih ke arah kehidupan. Contohnya Second Life.
Menurut Gamble, Teri and Michael dalam Communication works. Seventh edition, media sosial memiliki ciri-ciri
  • Pesan yang di sampaikan tidak hanya untuk satu orang saja namun bisa keberbagai banyak orang contohnya pesan melalui SMS ataupun internet
  • Pesan yang di sampaikan bebas, tanpa harus melalui suatu Gatekeeper
  • Pesan yang di sampaikan cenderung lebih cepat di banding media lainnya
  • Penerima pesan yang menentukan waktu interaksi

Nah dari sini kita akan membahas tentang kasus penyebaran kebencian yang marak terjadi terutama di jejaring sosial. 

Menurut ciri-ciri yang telah disebutkan, jelas bahwa tujuan pesan yang disebarkan di sosial media bukan hanya tertuju pada satu orang, tetapi kepada banyak orang sekaligus. Selain itu orang bebas membagikan konten dan pesan apa saja, tanpa ada yang menyaringnya. Ini berarti, baik informasi yang benar atau yang salah, yang positif maupun negatif, siapa saja bisa membagikan tanpa ada yang bisa mencegah, bahkan tanpa ada yang bisa melarang. Seperti yang kita tahu, pembuatan akun di sosial media termasuk di jejaring sosial bukan lah hal yang sulit. 1 orang juga bisa membuat lebih dari 1 akun di media sosial mana pun. Membuat akun palsu bukan lagi hal yang aneh maupun sulit dilakukan. Siapa saja bisa berpura-pura menjadi orang lain untuk membagikan apa saja. Salah satunya adalah hate speech. 

Hate speech adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, kecacatan, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Dalam arti hukum, Hate speech adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. 

Jelas bahwa hate speech merupakan tindakan yang negatif, bahkan ilegal. Namun di era media sosial seperti saat ini, hate speech sangat mudah untuk dilakukan oleh siapa saja. 

Misalnya, ada seseorang yang membenci publik figur A, ia ingin menyebarkan kebenciannya ini agar lebih banyak orang yang akan membenci publik figur A ini. Ia bisa dengan mudah membuat postingan di media sosial yang menjelek-jelekkan publik figur A ini. Berbeda dengan saat di dunia nyata, semua aktivitas di dunia maya alias di Internet lebih sedikit resikonya. Orang itu bisa saja membuat akun palsu, agar identitasnya tidka ketahuan, jadi walaupun publik figur A tidak suka dijelek-jelekkan, namun ia tidak bisa melaporkannya ke pihak berwenang karena akun yang digunakan adalah akun palsu yang tidak menunjukkan siapa identitas asli pembuatnya. 

Para penyebar kebencian ini bersembunyi di balik topeng akun-akun palsu, bebas dari resiko perbuatan mereka, namun mengajak orang lain untuk merusak kehidupan orang lain. Di satu sisi, adanya internet dan media sosial memang mempermudah semua orang untuk berbagi informasi dengan mudah, tapi tidak adanya penyaringan juga membuat orang bebas berbuat seenak hati dengan dalih kebebasan berpendapat. 

Dalam bukunya yang berjudul ‘The New Communication Technology’, Mirabito menyatakan ada 12 ribu pengguna Internet yang menjadi korban kejahatan di Internet yang berkenaan dengan: suku bangsa, ras, agama, etnik, orientasi seksual, hingga gender. Nyatanya, kemajuan Internet berjalan seiring dengan peningkatan teror di dunia maya. 

Dari sini jelas, bahwa admin-admin akun kebencian bisa dengan santai menyebarkan pesan kebencian karena berpikir bahwa mereka tidak akan ditangkap, karena semua yang mereka lakukan hanya sebatas lewat internet. Namun kenyataannya, mereka tetap bisa ditangkap. 

Belum lagi, adanya media sosial membuat informasi apapun dapat tersebar dengan cepat dan akan sulit ditarik kembali. Sesuai dengan ciri ketiga, bahwa pesan yang disebar lewat media sosial memiliki waktu penyebaran paling cepat jika dibandingkan dengan media lain. Misalnya lewat koran, informasi yang akan disebar lwat koran jelas memiliki waktu yang agak panjang. Berita harus disunting terlebih dahulu, kemudian dicetak, lalu disebarkan secara manual. Sedangkan lewat media sosial, seseorang tinggal mengetik dan membagikan, pesan dengan otomatis akan menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru internet. 

Adanya internet memang menghilangkan batas-batas ruang dan waktu. Orang bisa saja berada di benua Asia, tapi dalam hitungan menit bahkan detik, apa yang ia tulis di media sosial bisa sampai ke orang-orang di seluruh penjuru dunia. 

Salah satu contoh Hate Speech di Indonesia yang cukup terkenal adalah kasus akun Muslim_Cyber1. Seorang admin akun Muslim_Cyber1, HP berumur 23 tahun, ditangkap karena mengunggah sccreenshot percakapan palsu antara Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dengan Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono. Isi percakapan membahas kasus pemimpin FPI Habib Rizieq Shihab. Dalam potongan percakapan itu, dibuat seolah Tito dan Argo hendak merekayasa kasus untuk menjatuhkan Rizieq. Selain itu, akun tersebut juga sering menyebarkan unggahan berbau SARA, fitnah, serta Hate Speech. Dalam sehari, akun itu dapat mengunggah 3 hingga 5 postingan provokatif yang menyinggung kelompok tertentu. Selain HP, ada 18 admin lain yang ikut mengoperasikan akun tersebut, namun baru HP yang ditangkap sementara yang lain masih diselidiki. 

Maka dari itu, ada baiknya jika kita belajar lebih bijak dalam menggunakan internet. Tidak semata-mata hanya karena kita bebas mengunggah apapun, lantas kemudian kita bisa semena-mena. Akan lebih baik jika kita hanya menyebarkan informasi positif yang sifatnya benar, bukan kebohongan. Selain itu, berlindung di balik akun palsu adalah tindakan pengecut yang membuktikan seseorang tidak mampu bertanggung jawab untuk tindakan yang telah diperbuatnya. Mari kita gunakan media sosial dengan baik, agar media sosial bisa menjadi tempat yang menyenangkan dan berguna bagi semua orang. 



Sumber

Label: , , , ,

Review Film : Freedom Writers
| 19:02 | 0comments
Freedom Writers adalah film yang disutradai oleh Richard LaGravenese dan pertama kali ditayangkan pada tahun 2007. Film ini berkisah tentang Erin Gruswell (Hillary Swank) dan murid-muridnya di Long Beach, California pada tahun 1994. 

Erin Gruswell adalah guru baru yang mengajar kelas 1 dan 2 di SMA Woodrow Wilson, yang selama 2 tahun terakhir menerapkan program integrasi sukarela. Bagi hampir seluruh guru lainnya, program ini mereka anggap sebagai sebuah program yang merusak reputasi SMA Woodrow Wilson, yang awalnya merupakan sekolah dengan banyak murid unggulan. Berkat program ini, sekolah harus secara sukarela menerima banyak murid bermasalah dari berbagai ras yang ada di daerah itu. Hampir anak-anak ini adalah anak-anak bermasalah yang tergabung dalam gang, bahkan sudah pernah dikirim ke penjara untuk remaja bermasalah. Saat itu di Long Beach, perseteruan antar ras terjadi dengan cukup hebat. Ras-ras yang bukan “kulit putih” seperti Latin, African-American, dan Asia Kamboja saling menyerang demi memperebutkan daerah kekuasaan dan apa yang mereka anggap sebagai “kehormatan ras”. Sudah banyak korban yang berjatuhan dari semua pihak, dan banyak terjadi ketidak adilan dan rasisme. 

Erin sengaja memilih untuk mengajar di SMA Wodrow Wilson karena ia mengetahui adanya program integrasi sukarela ini. Meskipun di awal ia sudah sangat bersemangat dalam mengajar murid-muridnya, namun ia merasa sangat kecewa saat menyadari bahwa program ini benar-benar tidak seperti apa yang ia bayangkan. Bahkan program ini berjalan cukup kacau, karena guru-guru lain juga menilai murid-murid di kelas Erin sebagai pengacau yang tidak berhak mendapatkan pendidikan dan perhatian penuh. 

Di kelas yang berisi berbagai ras itu, tiap kelompok saling membenci satu sama lain. Mereka juga awalnya tidak peduli dengan pendidikan karena menurut mereka, mereka sudah cukup beruntung karena bertahan hidup sejauh ini. Meskipun begitu, para murid kelas integrasi ini lebih membenci guru baru mereka, Ms. Gruswell, daripada satu sama lain. Satu-satunya hal yang mereka sepakati adalah bahwa mereka sama-sama membenci Gruswell. Mereka sama sekali tidak menghormatinya dan tidak berusaha untuk memperhatikan pelajaran sama sekali. Erin menjadi begitu gusar dan berpikir keras tentang bagaimana cara membantu murid-muridnya. 

Ia mulai menyarankan sebuah metode. Ia membagikan buku diary untuk anak-anak di kelasnya. Mereka harus menulis setiap hari, tentang apapun, boleh tentang masa lalu, masa kini maupun masa depan. Ia akan memeriksanya, tapi hanya akan membacanya jika mereka memperbolehkannya. Dari sana ia mulai sedikit paham mengenai pengalaman dan hidup murid-muridnya. Tentang bagaimana mereka melihat temannya meninggal, bagaimana mereka disakiti di keluarganya, tentang bagaimana mereka masuk ke penjara anak-anak nakal dan banyak lagi. 

Hingga suatu hari, salah satu murid membuat gambar yang mengolok-olok ras kulit hitam. Ms. Gruswell yang mengetahui hal ini menjadi sangat marah. Ia memarahi seluruh kelas. Ia bercerita bagaimana kekerasan terhadap ras tertentu sebelumnya telah mengakibatkan pembantaian masal. Ia bercerita tentang Holocaust dan bagaimana “permainan gang” mereka ini sama sekali belum ada apa-apanya. Murid-murid menjadi marah karena menganggap Ms. Gruswell tidak tahu apa-apa. Tapi saat Erin bertanya apa ada di antara mereka yang ingin tahu tentang Holocaust, seluruh kelas mengangkat tangan. 

Erin kemudian berusaha membuat mereka lebih tertarik dengan pelajaran. Ia awalnya ingin memberi mereka buku-buku yang berkaitan dengan peperangan antar gang, tetapi pihak sekolah menilai bahwa memberi mereka buku hanya akan menyia-nyiakan inventaris. Begitu pula saat Erin berusaha mendekati guru lain untuk membantunya, tak ada satupun yang mau membantu. 

Akhirnya Erin bekerja paruh waktu di tempat lain agar ia bisa membelikan murid-muridnya buku. Suami Erin mulai marah karena hal ini. Ia tidak suka Erin terlalu fokus pada murid-muridnya hingga sampai harus bekerja tambahan. Meskipun begitu Erin meyakinkan suaminya bahwa ia baik-baik saja dan ini tidak akan lama. Erin juga pergi mendatangi dewan pendidikan, ia meminta persetujuan agar ia boleh membelikan murid-muridnya buku dan mengajak mereka karyawisata sekolah ke Museum Toleransi yang menyimpan banyak bukti kekejaman Holocaust. Ia berjanji tidak akan meminta dana dari sekolah, tapi ia minta agar tidak ada yang menghalanginya. 

Pertama ia memberikan murid-muridnya buku tentang pertarungan antar gang. Ia juga membawa kelasnya ke museum Holocaust untuk melihat secara langsung bukti kekejaman Holocaust. Bahkan ia menghadirkan beberapa korban Holocaust yang berhasil selamat dan hidup. Setelah itu mereka jadi lebih tertarik terhadap kisah-kisah yang membahas tentang ras dan pertarungan antar gang. Mereka juga semakin menghormati Ms. Gruswell. Kemudian Ms. Gruswell memberikan murid-muridnya buku “Diary of Anne Frank” tentang pengalaman seorang anak perempuan yang bersembunyi saat Holocaust. 

Semua murid dengan cepat menjadi sangat tertarik dengan kisah ini. Mereka ingin agar Ms. Gruswell mengundang Miep Gies, orang yang membantu Anne Frank bersembunyi sekaligus mempublikasikan buku “Diary of Anne Frank”, untuk datang ke sekolah dan bercerita secara langsung kepada mereka. Meskipun Ms. Gruswell berusaha membuat mereka paham bahwa hal ini akan sangat sulit dilakukan karena Miep Gies yang sudah sangat lanjut usia tinggal amat jauh dari tempat mereka dan ini akan membutuhkan banyak dana, murid-murid Ms. Gruswell tidak menyerah. Mereka akhirnya mulai sadar bahwa pertarungan antar gang itu tidak ada gunanya. Mereka mulai akur. Bersama-sama mereka bekerja sama demi menggalang dana demi mengundang Miep Gies. Kisah perjuangan mereka pun mulai diliput oleh media. Hal ini cukup membuat pihak sekolah gempar, tapi tak ada yang bisa mereka lakukan. 

Tapi semua perjuangan ini tidak begitu saja dicapai tanpa pengorbanan. Erin sampai bercerai dengan suaminya karena suaminya tidak bisa bertahan dengan Erin yang mendedikasikan hampir seluruh waktunya untuk kelasnya. 

Pertarungan terakhir mereka dalam film ini adalah saat mereka akan naik ke kelas 3. Mereka yang merasa bahwa tidak ada orang lain yang mau mendengarkan mereka selain Ms. Gruswell menolak untuk berpisah dengan guru kesayangan mereka. Meskipun begitu, sistem sekolah mengharuskan mereka untuk berpisah, karena guru baru tidak boleh mengajar kelas 3 dan 4. Ms. Gruswell kembali memarahi murid-muridnya yang dengan mudah menyerah hanya karena mereka tak akan lagi diajar olehnya. Ms. Gruswell memberi tahu mereka, bahwa apapun yang terjadi, mereka punya kesempatan untuk lulus dan menjadi orang yang sukses, siapapun gurunya. Sebelum berpisah, Ms. Gruswell menyuruh semua muridnya untuk menjadikan semua curhatan mereka yang selama ini mereka tuliskan, menjadi satu buku. Ia ingin murid-muridnya meninggalkan jejak. Ia tidak berjanji bahwa buku ini akan diterbitkan nantinya, tetapi paling tidak kisah mereka akan tercatat. Dari sinilah sebutan Freedom Writers diberikan Ms. Gruswell untuk murid-muridnya. Di saat yang sama, MS Gruswell juga berusaha berunding dengan dewan dan dengan pihak sekolah agar ia diijinkan terus mengajar kelas itu, tetapi tidak dikabulkan. Persoalan ini akhirnya mendapat perhatian dewan pendidikan dari pusat. Setelah negosiasi panjang, akhirnya Ms. Gruswell diijinkan menemani murid-muridnya di kelas 3 dan 4. Film berakhir dengan Ms. Gruswell yang berhasil membawa seluruh muridnya menuju kelulusan bahkan masuk ke Universitas. Mereka kemudian mendirikan yayasan Freedom Writers. 



Film ini mengajarkan begitu banyak hal kepada para penontonnya. Yang pertama adalah tentang ketidaksetaraan dan diskriminasi antar ras yang terjadi secara nyata di California pada masa itu. Bagaimana kehidupan bisa menjadi sangat berbahaya hanya karena pertarungan antar ras. Tapi hal itu akhirnya dapat dijembatani saat masing-masing pihak mau mendengarkan pihak yang lain. Ms. Gruswell berhasil menyatukan seluruh kelas berkat kerja kerasnya. 

Yang kedua tentu saja tentang pendidikan. Bagaimana Erin Gruswell berusaha sekuat tenaga agar murid-muridnya mendapatkan pendidikan yang berhak mereka dapatkan. Erin membuktikan bahwa seburuk apapun seorang murid, ia masih pantas mendapatkan pendidikan yang layak. Bahkan mereka bisa menjadi lebih baik dengan pendidikan yang layak. 

Erin berhasil membangun kepercayaan dan rasa hormat dari muridnya setelah ia berusaha memahami apa yang mereka alami. Dengan ia menolak keras adanya rasisme dan perseteruan antar gang di kelasnya juga ia berhasil menegaskan autoritasnya sebagai guru. Ia juga membelikan semua muridnya buku yang sesuai dengan uang pribadinya karena ia ingin mereka mendapatkan pendidikan yang layak. Bahkan sampai membawa mereka ke Museum Toleransi. Pengetahuannya mengenai topik-topik yang sesuai dengan apa yang muridnya butuhkan dan caranya mengajar yang tidak seperti cara mengajar umum, namun sesuai dengan kondisi muridnya, juga membuatnya menjadi guru yang sangat dihormati oleh murid-muridnya. Dan mereka mampu percaya pada Ms. Gruswell karena ia adalah orang dewasa pertama yang mau mendengarkan kisah anak-anak itu. 

Erin Gruswell bukan hanya percaya bahwa anak-anak bermasalah itu mempunyai masa depan, ia benar-benar berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkannya. Ia tidak semata mengajarkan mereka materi pelajaran, tetapi juga moral dan nilai-nilai kehidupan. Ia tidak sekedar melihat mereka dari nilai akademisnya, tetapi juga dari psikologi dan perasaan mereka. Ia berusaha membuat pelajaran semenarik mungkin dan semudah mungkin agar bisa mereka pahami. Tidak hanya sekedar membaca dan menulis, ia bahkan membuat berbagai kompetisi kecil dalam kelas. Ia tidak hanya memberi mereka pendidikan, tetapi juga membangun moral dan pola pikir mereka. Ia membuat kelas mereka sebagai tempat di mana semua anak bisa bebas menjadi diri mereka tanpa perlu mengkhawatirkan ego, kehormatan ataupun ras. 

Erin berhasil tidak hanya sekedar menjadi guru, tapi sosok yang benar-benar membantu anak-anak bermasalah ini menjadi orang-orang yang sukses dan memiliki masa depan yang lebih dari sekedar mati karena pertarungan gang.

Label: , ,

Jurnalisme Online
| 19:00 | 0comments
Menurut Satrio Arismunandar (2006), orang yang memproduksi content terutama untuk Internet, dan khususnya untuk World Wide Web, dapat dianggap bekerja untuk salah satu atau lebih dari empat jenis Jurnalisme Online yang tersebut di bawah ini.
Berbagai jenis jurnalisme online itu dapat ditempatkan di antara dua domain. 

Domain pertama, adalah suatu rentangan, mulai dari situs yang berkonsentrasi pada editorial content sampai ke situs-situs Web yang berbasis pada konektivitas publik (public connectivity). Editorial content diartikan di sini sebagai teks (termasuk kata-kata yang tertulis atau terucapkan, gambar-gambar yang diam atau bergerak), yang dibuat atau diedit oleh jurnalis. Sedangkan konektivitas publik dapat dipandang sebagai komunikasi ”titik-ke-titik yang standar” (standard point-to-point). Atau, bisa juga kita nyatakan sebagai komunikasi ”publik” tanpa perantaraan atau hambatan (barrier of entry), misalnya, hambatan dalam bentuk proses penyuntingan (editing) atau moderasi (moderation). 

Domain kedua, melihat pada tingkatan komunikasi partisipatoris, yang ditawarkan oleh situs berita bersangkutan. Sebuah situs dapat dianggap terbuka (open), jika ia memungkinkan pengguna untuk berbagi komentar, memposting, mem-file (misalnya: content dari situs tersebut) tanpa moderasi atau intervensi penyaringan. Sedangkan komunikasi partisipatoris tertutup (closed) dapat dirumuskan sebagai situs di mana pengguna mungkin berpartisipasi. Namun langkah komunikatif mereka harus melalui kontrol editorial yang ketat. 

Prinsip Dasar Jurnalisme Online Menurut Paul Bradshaw, prinsip dari jurnalisme online meliputi lima hal yang disingkat sebagai B-A-S-I-C, yaitu Brevity, Adaptability, Scannability, Interactivity, dan Commnity and Conversations. 

1. Brevity Prinsip 

Pertama ini mengandung arti keringkasan, simple, praktis. Bradshaw mengungkapkan salah satu alasan yang dikemukakannya, brevity sebagai penanda perbedaan internet, media cetak, radio, dan televisi sehingga berpengaruh terhadap bagaimana perilaku orang dalam memperlakukan masing masing media ini. Sikap ringkas dan praktis pada media konvensional ketika diadaptasikan pada media online akan sangat berbeda satu dengan yang lain. Bentuk dari sifat ringkas jurnalisme online ini terbagi dalam dua hal. Pertama, brevity dalam media cetak. Kedua, brevity dalam media penyiaran, baik yang berkaitan dengan audio, maupun video. Dalam media cetak, semua konsep informasi disampaikan dalam uraian paragraf. Audiens memegang koran, kemudian membaca uraian-uraian paragraf, membolak-balik tiap halaman dengan leluasa. Sementara ketika media cetak ini diadaptasi ke dalam media berbasis internet, kepraktisan menjadi kebutuhan. Jika orang akan dengan leluasa membolak-balik halaman koran dengan leluasa, maka jika membaca melalui internet, orang harus jeli dengan tombol navigasi. Untuk mengakses berita dalam media online hanya butuh untuk meng-klik informasi yang dibutuhkan. 

2. Adaptability 

Persoalan adaptasi ini tidak hanya berkaitan dengan keberadaan teknologi yang memaksa para pelaku media untuk semakin berbenah dan melek media. Selain itu juga, berkenaan dengan konten media yang semakin hidup, dapat ditampilkan dalam bentuk yang beragam. Era ini merupakan era konvergensi yang menuntut jurnalis untuk lebih skillfull dan cerdas. Tuntutan pada kemampuan skill sang jurnalis, ia juga harus cerdas dalam memilih dan memilah. Penghimpunan berita dilakukan secara bertahap dalam pemberitaan yang dilakukan pada media online. Mana fakta yang didapatkan oleh jurnalis, fakta itu akan naik ke media dan diakses oleh pembaca. Namun dalam satu keadaan, jurnalis dihadapkan pada banyak fakta yang datang bersamaan, dan harus segera disampaikan kepada khalayak. Jika pada media konvensional, sudut pandang berita yang dipilih oleh jurnalis ditentukan oleh kebijakan redaksi. Sementara pada media online, fakta yang telah diunggah dapat diperbarui atau diverifikasi secara berkelanjutan tanpa terbatas waktu. Kelengkapan berita dalam jurnalisme konvensional ditemukan dalam badan berita, sementara dalam media online kelengkapan ini akan didapatkan secara bertahap. 

3. Scannability 

Bradshaw mengungkapkan, “Users of news website are generally task-oriented”. Hal ini dipertimbangkan karena tiap pengunjung website berita,ketika akan masuk dalam situs mereka akan melakukan pencarian terhadap topik-topikyang sifatnya spesifik. Jika mereka tidak menemukan apa yang mereka cari,maka mereka akan dengan segera berpindah ke website lain untuk memenuhi pencariannya. Sama halnya pada televisi, jika audiens tidak menemukan apa yang mereka inginkan dari channel A, maka mereka akan dengan segera beralih pada channel lainnya. 

4. Interactivity 

Dalam uraiannya tentang jurnalisme online, Bradshaw mendefinisikan interaktivitas sebagai, “..it is about giving the user control”. Salah satu contoh interaktivitas yang terjadi dalam praktek jurnalisme online adalah melalui komentar-komentar yang disampaikan oleh pembaca melalui bagian komentar yang biasanya ada dalam pemberitaan-pemberitaan online. Bagi para jurnalis, interaktivitas dalam media online ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi perkembangan di masa depan. Kontrol ini bukan hanya bermakna memberikan peluang kepada pembaca untuk terlibat dengan topik-topik yang sedang menjadi perbincangan, seperti dengan memberikan peluang bagi mereka untuk terlibat diskusi dan berpikir dengan memberikan komentar. Bentuk kontrol ini bisa jadi memberikan ruangshare, membuat konten lebih mudah untuk diunduh dan disebarluaskan secara bertanggungjawab. Dapat juga dengan memberikan peluang kepada pembaca untuk menaruh konten pemberitaan di laman-laman social network,membiarkan pembaca untuk melibatkan diri dengan email atau RSS. Dalam kondisi ini, interaktivitas tak hanya terjadi antara pemilik situs atau pembuat situs dengan usernya, namun juga antara user yang satu dengan user yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam media online interaktivitas melibatkan banyak elemen dan terjadi dalam tiga arah, yaitu antara jurnalis dengan user, user dengan jurnalis, dan antara user yang satu dengan user lainnya.7 

5. Community and Conversation 

Jurnalisme yang baik adalah jurnalisme yang mampu memberikan pelayanan bagi masyarakatnya, menjalankan fungsi komersialnya, dan mendukung apa yang dibutukan oleh masyarakatnya. Apalagi antara jurnalisme dan masyarakat sendiri terjalin hubungan saling membutuhkan karena terikat akan keberadaan informasi yang berada di sekitar mereka. Dalam konteks jurnalisme online, mereka tidak hanya menjadi konsumen berita, tetapi juga merupakan kontributor, moderator, editor, bahkan penggerak organisasi berita itu sendiri. Menjadi tantangan tersendiri bagi jurnalis untuk dapat masuk dan menembus komunitas yang menyebar ini. Sedangkan conversation dalam jurnalisme online memungkinkan terjadinya interaktivitas, audiens tak lagi berkeinginan menjadi audiens saja, namun juga dapat menjadi seseorang yang berpengaruh atas topik-topik yang dibahas. 

Keuntungan (Karakteristik) Jurnalisme Online 

Seperti tertulis dalam buku Online Journalism. Principles and Practices of News for The Web(Holcomb Hathaway Publishers, 2005), ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dari jurnalisme online: 


Mengapa jurnalisme online memagang peranan penting dalam perkembangan media massa saat ini? 

a. Jurnalisme online membawa nilai egaliter. 
Setiap individu bebas merealisasikan sumber dayanya dari mengerahkan segala potensinya untuk menggapai semua bagian dalam menentukan jalan yang disenangi. Setiap individu bebas memanfaatkan peluang berkomunikasi dengan siapa saja untuk mewarisi peradaban dunia dengan bebas dan mengaktualisasikan dirinya. 

b. Jurnalisme online membawa nilai liberal
Dalam jurnalisme online sangat menjunjung tinggi adanya kebebasan berpendapat serta berkumpul dan berserikat. Menurut paham liberal, ini merupakan kebebasan asasi yang dimiliki oleh setiap manusia. Selain itu posisi antara masyarakat dan negara adalah setara, dalam artian bahwa negara tidak boleh mencampuri urusan atau kehidupan masyarakat. 

Label: , , ,

Budaya Politik
| 18:54 | 0comments
Gabriel Almond dan Sydney Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas dari warga negara terhadap sistem politik dengan aneka ragam bagiannya dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada dalam sistem itu. (Almond & Verba, 1984, hal. 14)

Miriam Budiardjo menyatakan bahwa salah satu aspek penting dalam sistem politik adalah budaya politik yang mencerminkan faktor subjektif. Budaya politik adalah keseluruhan dari pandanganpandangan politik, seperti norma-norma, pola-pola orientasi terhadap politik, dan pandangan hidup pada umumnya. Budaya politik mengutamakan dimensi psikologis dari suatu sistem politik, yaitu sikap-sikap, sistem-sistem kepercayaan, simbol-simbol yang dimiliki oleh individu-individu, dan beroperasi di dalam seluruh masyarakat, serta harapan-harapannya. (Budiarjo, 2008, hal. 58-59)

Budaya politik merupakan persepsi manusia, pola sikapnya terhadap berbagai masalah politik dan peristiwa politik terbawa pula ke dalam pembentukan struktur dan proses kegiatan politik masyarakat maupun pemerintah(an), karena sistem politik itu sendiri adalah interrelasi antara manusia yang menyangkut soal kekuasaan, aturan dan wewenang. (Kantaprawira, 1999, hal. 26)

Menurut (Almond & Verba, 1984), terdapat tiga macam jenis budaya politik campuran yaitu:

1. Budaya Politik Parokial Subjek
Ini adalah tipe budaya politik yang sebagian besar penduduknya menolak tuntutan-tuntutan ekslusif (khusus) pada masyarakat kesukuan atau desa atau otoritas feodal dan telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat khusus. Bentuk budaya campuran ini merupakan peralihan atau perubahan dari pola budaya parokial (parokialisme lokal) menuju pola budaya subjek (pemerintahan yang sentralistis. Jadi perubahan dari kebudayaan politik parokial menuju kebudayaan politik subyek dapat dimantapkan pada sejumlah poin tertentu dan menghasilkan perpaduan politik, psikologi dan kultural yang berbeda-beda. Teori Gabriel dan Verba juga menegaskan bahwa jenis perpaduan yang dihasilkan mengandung manfaat besar terhadap stabilitas dan penampilan sistem politik tersebut. Budaya ini biasa terdapat dalam bentuk kerajaan, seperti kerajaan-kerajaan di Rusia, Jerman, Afrika dan Turki.

2. Budaya Politik Partisipan Subjek
Bentuk budaya politik campuran subjek partisipan adalah peralihan atau perubahan dari budaya subjek yaitu pemerintahan yang sentralistik ke arah budaya partisipan yang demokratis. Seperti ditunjukkan oleh Gabriel dan Verba bahwa penanaman rasa loyalitas nasional dan identifikasi, serta kecenderungan untuk mentaati peraturan pemerintahan pusat, merupakan masalah prioritas yang pertama bagi bangsa-bangsa yang baru muncul. Dalam budaya subjek partisipan yang bersifat campuran ini, sebagian besar penduduk telah memperoleh orientasi input yang bersifat khusus dan serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang aktifis. Sementara sebagian penduduk lainnya terus berorientasi ke arah struktur pemerintah yang otoriter dan secara relatif memiliki serangkaian orientasi pribadi yang pasif. Cara-cara yang berlangsung dalam proses peralihan dari budaya parokial menuju budaya subjek turut berpengaruh pada proses ini. Dalam proses peralihan ini, pusat kekuasaan parokial dan lokal turut mendukung pembangunan infrastruktur demokratis. Negara yang menerapkan budaya campuran ini antara lain negara-negara Eropa seperti Prancis, Italia dan Jerman sejak abad 19 sampai sekarang ini.

3. Budaya Politik Parokial dan Partisipan
Bentuk budaya politik campuran parokial dan partisipan ini adalah peralihan atau perubahan dari budaya politik parokial menuju ke arah budaya politik partisipan. Dalam kebudayaan ini kita mendapatkan masalah kontemporer mengenai pembangunan kebudayaan di sejumlah Negara yang sedang berkembang. Banyak terdapat pada negara-negara berkembang yang melaksanakan pembangunan politik. Di sejumlah negara ini pada umumnya budaya politik yang dominan adalah budaya parokial. Sedangkan norma-norma struktural yang diperkenalkan biasanya bersifat partisipan. Sehingga persoalan yang erlu ditanggulangi ialah mengembangkan orientasi input dan output secara simultan. Bukan suatu hal yang aneh jika hampir semua sistem politik ini terancam oleh fragmentasi parokial, karean tidak ada struktur untuk bersandar bagi masyarakat, birokrasi tidak berdiri tegak terhadap kesetiaan masyarakatnya, sedangkan infrastruktur tidak berakar dari warganegara yang kompeten dan bertanggungjawab.

Klasifikasi budaya politik ke dalam tiga tipe ideal sebagaimana diungkapkan oleh Almond dan Verba, sama sekali tidak mengasumsikan bahwa tipe yang satu meniadakan tipe yang lain. Klasifikasi itu tidak harus disimpulkan bahwa orientasi yang satu akan menggantikan orientasi yang lain (Almond & Verba, 1984, hal. 22)


References

Almond, G., & Verba, S. (1984). Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Jakarta: Bina Aksara.

Budiarjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kantaprawira, R. (1999). Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru Alesindo.

Label: ,

Potensi Diri
| 18:47 | 0comments
Setiap orang memiliki kepribadian masing – masing. Di dalam kepribadian seseorang terdapat potensi diri. Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia melalui Modul Pengenalan dan Pengukuran Potensi diri tahun 2008 menjelaskan bahwa potensi diri tidak akan lepas kaitannya dengan hakekat manusia itu sendiri. Hakekat manusia tersebut adalah: (1) sebagai makhluk Tuhan yang bertaqwa.; (2) sebagai makhluk sosial; dan (3) sebagai makhluk yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Potensi diri sendiri merupakan kemampuan – kemampuan yang dimiliki setiap orang namun belum digunakan secara maksimal. Setiap orang haruslah mengetahui dan mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya agar dapat membuat perubahan dan berpikir kedepan.

Untuk pengukuran potensi diri ada beberapa tahap yang harus dijalani. Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia melalui Modul Pengenalan dan Pengukuran Potensi diri tahun 2008 terdapat 3 tahap yaitu :

  1. Pengukuran Individual, yakni mengenal diri sendiri yang dapat dilakukan melalui intropeksi diri. 
  2. Pengukuran melalui Feed Back Orang Lain, hal ini membantu seseorang untuk memperbaiki tingkah lakunya dan evaluasi bagi dirinya, namun kita harus bijaksana dalam menerima feedback yang diberikan. 
  3. Tes Kepribadian, merupakan salah satu instrumen untuk pengenalan diri yang mencakup: 


Sumber :

Modul Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat IV. 2008. Pengenalan dan pengukuran potensi diri. Jakarta : Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.

Label: ,

Definisi Ilmu Politik
| 18:45 | 0comments
Secara Epistimologis politik berasal dari bahasa Yunani “Polis”, “Polites” (warga negara), “Politikos”(kewarganegaraan), “Politike te Ekne” (kemahiran politik), “Politike Episteme” (ilmu politik). Secara Terminologis ilmu politik memiliki 2 pengertian, yaitu : 
  1. Merujuk kepada satu segi kehidupan manusia dalam bermasyarakat yang lebih mengarah pada usaha untuk memperoleh kekuasaan, memperbesar atau memperluas serta mempertahankan kekuasaan. 
  2. Merujuk kepada satu rangkaian tujuan yang hendak dicapai, atau cara-cara atau arah kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan yang lebih mengarah kepada kebujakan atau kebijaksanaan. 

Menurut Aristoteles, Politik adalah “usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. 

Menurut Ramlan Surbakti (1999 : 1) bahwa definisi politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. 

Lasswell menyimpulkan proses politik sebagai masalah who gets what, when, how, atau masalah siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana. “Mendapatkan apa” artinya mendapatkan nilai-nilai. “Kapan” berarti ukuran pengaruh yang digunakan untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan nilai-nilai terbanyak. “Bagaimana” berarti dengan cara apa seseorang mendapatkan nilai-nilai. (Ramlan Subakti, 1999) 

Menurut W.A. Robson (dalam The University Teaching of Social Sciences), “Ilmu politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, ... yaitu sifat hakiki, dasar, proses-proses, ruang lingkup, dan hasil-hasil. Fokus perhatian seorang sarjana ilmu politik... tertuju pada perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu. (Political science is concerned with the study of power in a society... its nature, basis, processes, scope and result. The focus of interest of the political scientist... centres on the struggle to gain or retain power, to exercise power or influence over others, or to resist that exercise).” (1954) 

Menurut F. Isjwara, (1995 : 42) politik ialah salah satu perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau sebagai tekhnik menjalankan kekuasaan-kekuasaan”. 

Menurut Kartini Kartono (1996 : 64) bahwa politik dapat diartikan sebagai aktivitas perilaku atau proses yang menggunakan kekuasaan untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang sah berlaku di tengah masyarakat. 

Menurut Roger F. Soltau dalam Introduction to Politics:’Ilmu politik mempelajari negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga lembaga yang akan melaksanakan tujuan tujuan itu; hubungan antara negara dengan warga negaranya serta dengan negara-negara lain’ (Political science is the study of the state, its aims and purposes…the institutions by which these are going to be realized, its relations with its individual members and other states.) (Miriam Budiarjo, 2013 : 9) 

Menurut Peter Merlk “politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan ”. Secara umum politik (politics) adalah untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Dalam rangka ini politik pada dasarnya dapat dilihat sebagai usaha penyelesaian konflik (conflict resolution) atau konsesus (consensus). Peter Merlk juga merumuskan “Politik dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan kekuasaan, kedudukan dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri (Politics at its worst is a selfishgrab for power, glory and riches)” (Miriam Budiarjo, 2013 : 15) 

Dengan demikian, Miriam Budiardjo menyimpulkan, bahwa politik dalam suatu negara selalu berkaitan dengan masalah : 
  1. Negara (state) 
  2. Kekuasaan (power) 
  3. Pengambilan keputusan (decision making) 
  4. Kebijakan (policy, beleid). 
  5. Pembagian (distribution) atau alokasi (allocation). 
Menurut Wilbur White, ilmu politik adalah studi mengenai formasi, bentuk dan proses sebuah negara dan pemerintahan. (Abu Bakar Ebhyara, 2010 : 41) 

Menurut Raymond Aron, ilmu politik adalah jalan untuk mempelajri masyarakat secara keseluruhan dari sudut pandang khusus organissasi dan fungsi lembaga pemerintahan. (Abu Bakar Ebhyara, 2010 : 41) 

Menurut J Barents (dalam Ilmu Politika), “Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan bermasyarakat... dengan negara sebagai bagiannya (en maatschappelijk leven... waarvan de staat een onderdeel vornt); ilmu politik mempelajari negara dan bagaimana negara tersebut melakukan tugas serta fungsinya (De wetenschap der politiek is de wetenshcap die het leven van de staat een onderdeel vormt. Aan het onderzoek van die staten, zoals ze werken, is de wetenschap der politiek gewijd).” (1965) 

Deliar Noer (dalam Pengantar ke Pemikiran Politik), “Ilmu politik memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat. Kehidupan seperti ini tidak terbatas pada bidang hukum semata-mata, dan tidak pula pada negara yang tumbuhnya dalam sejarah hidup manusia relatif baru. Di luar bidang hukum serta sebelum negara ada, masalah kekuasaan itupun telah pula ada. Hanya dalam zaman moderen inilah memang kekuasaan itu berhubungan erat dengan negara.” (1965) 

“Politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerjasama (Politics is the activity through which a people make, preserve and amend the general rules under which they live and as such is inextricaly linked to the phenomen of conflict and cooperation).” (Andrew Heywood, 1997) 

Obyek dari ilmu politik adalah kebijakan pemerintah, proses terbentuknya, serta akibat-akibatnya. Yang dimaksud dengan kebijakan umum (public policy) di sini menurut Hoogerwerf ialah, membangun masyarakat secara terarah melalui pemakaian kekuasaan (doelbewuste vormgeving aan de samenleving door middel van machtsuitoefening).” (Hoogerwerf, 1972) 

“Ilmu politik adalah ilmu sosial yang khusus mempelajari sifat dan tujuan dari negara sejauh negara merupakan organisasi kekuasaan, beserta sifat dan tujuan dari gejala-gejala kekuasaan lain yang tidak resmi yang dapat mempengaruhi negara (Political science is that specialized social science that studies the nature and purpose of the state so far as it a power organization and the nature and purpose of other unofficial power phenomena that are apt to influence the state).” Fletchteim juga menekankan bahwa kekuasaan politik dan tujuan politik saling mempengaruhi dan bergantung satu sama lain. (Fletcheim, 1952) 

Politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum (Politics is the making of decisions by public means).” Dikatakan selanjutnya bahwa keputusan semacam ini berbeda dengan pengambilan keputusan pribadi oleh seseorang, dan bahwa seseorang dari keputusan semacam itu merupakan sektor umum atau sektor publik (public sector) dari suatu negara. Keputusan yang dimaksud adalah keputusan mengenai tindakan umum atau nilai-nilai (public goods), yaitu mengenai apa yang akan dilakukan dan siapa mendapat apa. Dalam arti ini politik terutama menyangkut kegiatan pemerintah. Oleh Deutsch dan kawan-kawan, negara dianggap sebagai kapal, sedangkan pemerintah bertindak sebagai nakhodanya. Pendekatan ini berdasarkan cybernetika (cybernetics), yaitu ilmu komunikasi dan pengendalian (control). (Deutsch, 1972) 

“Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya (politics is collective decision making or the making of public policies for an entire society).” (Mitchell, 1969) 



Daftar Pustaka 

Abu Bakar Ebyhara, (2010), Pengantar Ilmu Politik, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta 

Andrew Heywood, (1997) Politics, Macmillan Press, London 

Deliar Noer, (1965), Pengantar ke Pemikiran Politik, Dwipa, Medan 

Djahiri A Kosasih, (2003), Politik Kenegaraan dan Hukum, Lab PPkn UPI, Bandung 

Harold D. Laswell, (1959), Who Gets What, When, How, Meridian Books, Inc., New York 

A.Hoogerwerf, (1972) Politicologie: Begrippen en Problemen, Alpena an den Rijn: Samson Uitgeverij 

Isjwara F, (1995), Pengantar Ilmu Politik, Bina Cipta, Bandung. 

J. Barents, (1965), Ilmu Politik: Suatu Perkenalan Lapangan, Terj. L.M. Sitorus, PT. Pembangunan, Jakarta 

Joyce M. Mitchell dan William C. Mitchell, (1969) Political Analysis and Public Policy: An Introduction to Political Science, Rand Mc. Nally, Chicago 

Karl W. Deutsch, (1972), Politics and Government: How People Decide Their Fate, Houghton Mifflin Company, Boston 

Miriam Budiarjo, (2013), Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 

Ossip K. Fletchteim, ed., (1952) Fundamental of Political Science, Ronald Press Co., New York 

Peter H. Merkl, (1967), Continuity and Change, Harper and Row, New York 

Roger F. Soltau, (1961), An Introduction to Politics, Logmans, London 

Subakti Ramlan, (1999), Memahami Ilmu Politik, Gramedia Widia sarana Indonesia, Jakarta 

W.A. Robson, (1954) The University Teaching of Social Sciences: Political Science, UNESCO, Paris

Label: ,


Older Post